Hari itu Ocha dan Pipin pindah
ke rumah baru. Rumah itu dibangun ayahnya, yang berarti rumah pribadi keluarga.
Senang rasanya punya rumah sendiri,
setelah sekian lama tinggal di asrama.
Tapi ada juga sedihnya, karena di rumah baru ini sepi banget. Bayangkan, di
samping kanan dan belakang rumah berupa semak belukar yang rapat. Hutan,
tepatnya. Di samping kiri dan depan terbentang sawah yang sangat luas. Meskipun
jalan menuju rumah sudah beraspal, namun
tempat itu masihlah sangat sepi. Hanya beberapa rumah yang menjadi tetangga, itupun
lumayan jauh jaraknya.
Pagi itu adalah hari pertama mereka berada di rumah baru. Tadi malam, kesepian itu belum begitu terasa oleh ramainya tamu-tamu yang datang , juga sibuknya seisi rumah berkemas. Tapi setelah keesokan harinya begini, setelah semua tamu serta saudara pulang, dan tinggal mereka berempat; ayah, ibu, Ocha dan Pipin, uh......sepi.
"Sepi, ya?" tanya Ocha
pada adiknya.
"He-eh, nggak enak. Kita
tak ada teman," jawab Pipin.
Terbayang enaknya waktu
masih tinggal di asrama. Ada Tari, Panji, Dona, Heru, Sila, Yuda, dan masih
banyak lagi. Semua sebaya, seru jadinya. Seperti sebuah keluarga besar. Dan ini sangat menyenangkan. Mereka bisa
bermain apa saja sampai puas. Kadang mereka menciptakan permainan baru, jika
bosan dengan permainan yang sudah ada.
Permainan favorit mereka
adalah bertahan hidup dengan membuat
bivak, pondok dari ponco atau jas hujan. Permainan ini meniru para ayah mereka
saat latihan tempur dan bertahan hidup di hutan. Lalu memasak apa saja yang bisa dimakan. Tapi, biasanya
mereka mengambil bahan-bahan itu dari rumah masing-masing misalnya sebutir
telur. Telur-telur itu dikumpulkan untuk direbus dalam panci. Ada yang bertugas
mencari ranting dan kayu kering untuk memasak. Ada yang membawa panci,
mengambil air, dan membuat perapian. Api itu jangan sampai padam. Mereka saling
bergantian meniup kayu bakar agar tetap hidup. Uf, uf...., kadang sampai hitam
semua dibuatnya. Ha ha ha... seru sekali. Acara makan lebih asyik lagi. Semua
anggota mendapat jatah dengan jumlah yang sama.
Rasanya tak akan pernah lagi dia temukan permainan seasyik itu.
"Main pasar-pasaran yok,"
ajak Ocha iseng. Mereka baru saja selesai makan siang, tapi tak tahu apa yang
bisa dilakukan.
"Nggak, ah, malas," jawab
Pipin. Keduanya duduk di teras memandangi sekeliling dengan lesu. Tibatiba..
"Lho, kenapa anak-anak
ayah tak bersemangat nih?" tanya ayah yang baru pulang dari kantor, sambil
menurunkan ban mobil bekas.
"Tak seru nih, Yah, sepi!
Kita tak ada teman," protes keduanya.
"Kasihaaan...," olok ayah
bercanda,"ayo, ikut ayah ke samping rumah." Mereka mengikuti ayah. Ban mobil
bekas itu diberi tali tambang. Ayah dengan sigap memanjat pohon mangga, lalu
mengikatkannya pada dahan yang kokoh.
"Auoooooo....tarzan
kota..." teriak ayah. Ha, ayah telah membuatkan ayunan. Ocha dan Pipin
menghambur berebut.
"Ha,ha,ha.... aku tarzan,"
ujar Pipin.
"Aku Jane...!" teriak
Ocha. Saling berganti naik dan mengayun, kadang sambil berputar-putar. Tawa dan
teriakan keduanya sejenak melupakan kesepian itu.
"Siapa mau ikut?" tanya
ayah. Di tangannya tergenggam tiga buah pancing. Mereka langsung tahu
maksudnya.
"Asyiikkk, kita mancing!"
"Umpannya, Yah?" tanya
Ocha."
Kita cari di pinggir
sawah, banyak cacing atau anak ketam di sana," ujar ayah. Penuh riang gembira mereka
berdua mengikuti ayahnya menuju ke sungai kecil yang memagari sawah itu. Airnya
jernih, bebatuan di dasar sungai terlihat jelas. Oh, dari sini rupanya suara
gemericik air yang terdengar dari rumah mereka.
"Ayo kita lomba memancing,
siapa yang dapat ikan paling banyak,
dapat hadiah," tantang ayah.
"Boleh, tapi apa dulu
hadiahnya?"
"Ada deh...," ujar ayah
membuat keduanya jadi penasaran. Suasana jadi lebih serius. Semua berharap ikan
segera memakan umpannya.
"Perhatikan rumpun bambu
ini," ujar ayah di sela keasyikannya itu.
"Memangnya kenapa, Yah?
Nggak ada apa-apanya?" timpal Pipin.
"Iya, Cuma burung pipit
doang," sambung kakaknya.
"Justru burung pipit
itulah, ramai benar kan? Panas terik begini burung-burung itu berteduh di
rindangnya daun. Dengar suaranya!" kata ayah. Memang riuh, sangat riuh suara
burung yang jumlahnya mungkin ratusan itu, memecah kesunyian. Ditingkah suara
gemercik air sungai, hmm...merdu juga. Mereka berdua baru menyadari, ternyata
ada simfoni merdu di tengah kesunyian sawah dan semak belukar.
"Aku dapat!" teriak Pipin
tiba-tiba. Ikan sepat kecil tersangkut di kailnya.
"Ha! Aku dapat lebih
besar. Aow, ular!" pekik Ocha kaget. Semua memandang sebentuk hewan panjang
yang memakan umpan Ocha.
"Ha ha ha...itu belut.
Sini, bawa sini," ujar ayah. Belut yang cukup besar itu dilepas dan dimasukkan
dalam ember. Tak terasa hari beranjak senja. Matahari bergeser ke arah barat
dengan anggun. Sinarnya menembus rumpun bambu, membentuk bintang-bintang kecil
yang berubah-ubah seiring tiupan angin. Udara menjadi sejuk.
"Yah, boleh mandi di sini
nggak?" tanya Ocha. Badannya mulai terasa gerah. Apalagi jernihnya air sungguh
menggoda.
"Boleh, ayah juga mau
mandi," jawab ayah sambil menceburkan diri dalam sungai. Tak lupa disiramnya
Ocha dan Pipin hingga terpekik dibuatnya.
"Ha, ha, ha.... yang belum
mandi jadi kerbau!" ejek ayah. Keduanya segera menyimpan pancing, langsung
terjun menyusul ayah. Ketiganya riang gembira menikmati sejuk dan segarnya
sungai nan jernih itu. Sesekali terpandang oleh keduanya anak-anak udang di
balik bebatuan. Wao, senangnya!
"Lho, kok pada basah semua?"
tanya ibu menyambut ketiganya di depan pintu.
"Tadi seru banget deh, Bu,
kita berenang di sungai dekat sawah sana," ujar Pipin sambil menyerahkan
seember hasil tangkapan mereka. Ada ikan sepat, belut, lele, bahkan keong.
"Wah, banyak benar , ibu
ndak perlu belanja lagi nih," seloroh ibu. Hasil tengkapan itu segera dibawa ke
dapur.
Malam yang indah.
Bintang-bintang bertebaran memenuhi angkasa. Bulan bersinar bak alis seorang
putri, njlirit segaris. Pipin dan
Ocha bergabung bersama ayah dan ibu di teras depan, setelah keduanya selesai
belajar.
"Ih, apa itu, Yah?" seru
Pipin menunjuk arah semak-semak di samping rumah.
"Kunang-kunang ya?" timpal
kakaknya. Tampak oleh mereka ratusan bahkan ribuan kunang-kunang berterbangan
di atas rumput serta pepohonan. Bahkan ada satu pohon hingga terang-benderang
dikerubuti kunang-kunang itu.
"Wao, seperti pohon natal
ya?" ujar kedua gadis kecil itu takjub.
"Bagus ?" tanya ayah.
"Bagus, bagus banget!"
balas keduanya.
"Biar burung-burung banyak
yang datang, besok kita buatkan tempat untuk mandi di halaman. Mereka pasti
suka," kata ayah lagi. Mata Ocha dan Pipin kian berseri-seri. Apalagi ayah juga
punya rencana untuk memelihara kelinci, ayam, dan bebek. Wuih, tambah seru!
Ayah memang hebat. Sejak hari pertama di rumah baru saja, sudah menyenangkan.
Apalagi besok, lusa, seminggu, dan seterusnya. Selamat tinggal sepi, selamat
tinggal bosan...!! (Penulis adalah anggota Persit KCK Cabang XLV Kodim 1201 KOORCAB REM 121
PD XII/TANJUNGPURA, Kalbar).
Oleh: Ny.Sri Nur Aeni Sugiyanto