Friday, 31 May 2013

Hari Pertama di Rumah Baru

Hari itu Ocha dan Pipin pindah ke rumah baru. Rumah itu dibangun ayahnya, yang berarti rumah pribadi keluarga. Senang rasanya punya rumah  sendiri, setelah sekian lama  tinggal di asrama. Tapi ada juga sedihnya, karena di rumah baru ini sepi banget. Bayangkan, di samping kanan dan belakang rumah berupa semak belukar yang rapat. Hutan, tepatnya. Di samping kiri dan depan terbentang sawah yang sangat luas. Meskipun jalan menuju rumah sudah  beraspal, namun tempat itu masihlah sangat sepi. Hanya beberapa rumah yang menjadi tetangga, itupun lumayan jauh jaraknya.


Pagi itu adalah hari pertama mereka berada di rumah baru. Tadi malam, kesepian itu belum begitu terasa oleh ramainya tamu-tamu yang datang , juga sibuknya seisi rumah berkemas. Tapi setelah keesokan harinya begini, setelah semua tamu serta  saudara pulang, dan tinggal mereka berempat; ayah, ibu, Ocha dan  Pipin, uh......sepi.


"Sepi, ya?" tanya Ocha pada adiknya.

"He-eh, nggak enak. Kita tak ada teman," jawab Pipin.

Terbayang enaknya waktu masih tinggal di asrama. Ada Tari, Panji, Dona, Heru, Sila, Yuda, dan masih banyak lagi. Semua sebaya, seru jadinya. Seperti sebuah keluarga besar.  Dan ini sangat menyenangkan. Mereka bisa bermain apa saja sampai puas. Kadang mereka menciptakan permainan baru, jika bosan dengan permainan yang sudah ada.

Permainan favorit mereka adalah bertahan hidup dengan  membuat bivak, pondok dari ponco atau jas hujan. Permainan ini meniru para ayah mereka saat latihan tempur dan bertahan hidup di hutan. Lalu  memasak apa saja yang bisa dimakan. Tapi, biasanya mereka mengambil bahan-bahan itu dari rumah masing-masing misalnya sebutir telur. Telur-telur itu dikumpulkan untuk direbus dalam panci. Ada yang bertugas mencari ranting dan kayu kering untuk memasak. Ada yang membawa panci, mengambil air, dan membuat perapian. Api itu jangan sampai padam. Mereka saling bergantian meniup kayu bakar agar tetap hidup. Uf, uf...., kadang sampai hitam semua dibuatnya. Ha ha ha... seru sekali. Acara makan lebih asyik lagi. Semua anggota mendapat jatah dengan jumlah yang sama.  Rasanya tak akan pernah lagi dia temukan permainan seasyik itu.

"Main pasar-pasaran yok," ajak Ocha iseng. Mereka baru saja selesai makan siang, tapi tak tahu apa yang bisa dilakukan.

"Nggak, ah, malas," jawab Pipin. Keduanya duduk di teras memandangi sekeliling dengan lesu. Tibatiba..

"Lho, kenapa anak-anak ayah tak bersemangat nih?" tanya ayah yang baru pulang dari kantor, sambil menurunkan ban mobil bekas.

"Tak seru nih, Yah, sepi! Kita tak ada teman," protes keduanya.

"Kasihaaan...," olok ayah bercanda,"ayo, ikut ayah ke samping rumah." Mereka mengikuti ayah. Ban mobil bekas itu diberi tali tambang. Ayah dengan sigap memanjat pohon mangga, lalu mengikatkannya pada dahan yang kokoh.

"Auoooooo....tarzan kota..." teriak ayah. Ha, ayah telah membuatkan ayunan. Ocha dan Pipin menghambur berebut.

"Ha,ha,ha.... aku tarzan," ujar Pipin.

"Aku Jane...!" teriak Ocha. Saling berganti naik dan mengayun, kadang sambil berputar-putar. Tawa dan teriakan keduanya sejenak melupakan kesepian itu.

"Siapa mau ikut?" tanya ayah. Di tangannya tergenggam tiga buah pancing. Mereka langsung tahu maksudnya.

"Asyiikkk, kita mancing!"

"Umpannya, Yah?" tanya Ocha."

Kita cari di pinggir sawah, banyak cacing atau anak ketam di sana," ujar ayah. Penuh riang gembira mereka berdua mengikuti ayahnya menuju ke sungai kecil yang memagari sawah itu. Airnya jernih, bebatuan di dasar sungai terlihat jelas. Oh, dari sini rupanya suara gemericik air yang terdengar dari rumah mereka.

"Ayo kita lomba memancing, siapa yang dapat ikan  paling banyak, dapat hadiah," tantang ayah.

"Boleh, tapi apa dulu hadiahnya?"

"Ada deh...," ujar ayah membuat keduanya jadi penasaran. Suasana jadi lebih serius. Semua berharap ikan segera memakan umpannya.

"Perhatikan rumpun bambu ini," ujar ayah di sela keasyikannya itu.

"Memangnya kenapa, Yah? Nggak ada apa-apanya?" timpal Pipin.

"Iya, Cuma burung pipit doang," sambung kakaknya.

"Justru burung pipit itulah, ramai benar kan? Panas terik begini burung-burung itu berteduh di rindangnya daun. Dengar suaranya!" kata ayah. Memang riuh, sangat riuh suara burung yang jumlahnya mungkin ratusan itu, memecah kesunyian. Ditingkah suara gemercik air sungai, hmm...merdu juga. Mereka berdua baru menyadari, ternyata ada simfoni merdu di tengah kesunyian sawah dan semak belukar.

"Aku dapat!" teriak Pipin tiba-tiba. Ikan sepat kecil tersangkut di kailnya.

"Ha! Aku dapat lebih besar. Aow, ular!" pekik Ocha kaget. Semua memandang sebentuk hewan panjang yang memakan umpan Ocha.

"Ha ha ha...itu belut. Sini, bawa sini," ujar ayah. Belut yang cukup besar itu dilepas dan dimasukkan dalam ember. Tak terasa hari beranjak senja. Matahari bergeser ke arah barat dengan anggun. Sinarnya menembus rumpun bambu, membentuk bintang-bintang kecil yang berubah-ubah seiring tiupan angin. Udara menjadi sejuk.

"Yah, boleh mandi di sini nggak?" tanya Ocha. Badannya mulai terasa gerah. Apalagi jernihnya air sungguh menggoda.

"Boleh, ayah juga mau mandi," jawab ayah sambil menceburkan diri dalam sungai. Tak lupa disiramnya Ocha dan Pipin hingga terpekik dibuatnya.

"Ha, ha, ha.... yang belum mandi jadi kerbau!" ejek ayah. Keduanya segera menyimpan pancing, langsung terjun menyusul ayah. Ketiganya riang gembira menikmati sejuk dan segarnya sungai nan jernih itu. Sesekali terpandang oleh keduanya anak-anak udang di balik bebatuan. Wao, senangnya!

"Lho, kok pada basah semua?" tanya ibu menyambut ketiganya di depan pintu.

"Tadi seru banget deh, Bu, kita berenang di sungai dekat sawah sana," ujar Pipin sambil menyerahkan seember hasil tangkapan mereka. Ada ikan sepat, belut, lele, bahkan keong.

"Wah, banyak benar , ibu ndak perlu belanja lagi nih," seloroh ibu. Hasil tengkapan itu segera dibawa ke dapur.

Malam yang indah. Bintang-bintang bertebaran memenuhi angkasa. Bulan bersinar bak alis seorang putri, njlirit segaris. Pipin dan Ocha bergabung bersama ayah dan ibu di teras depan, setelah keduanya selesai belajar.

"Ih, apa itu, Yah?" seru Pipin menunjuk arah semak-semak di samping rumah.

"Kunang-kunang ya?" timpal kakaknya. Tampak oleh mereka ratusan bahkan ribuan kunang-kunang berterbangan di atas rumput serta pepohonan. Bahkan ada satu pohon hingga terang-benderang dikerubuti kunang-kunang itu.

"Wao, seperti pohon natal ya?" ujar kedua gadis kecil itu takjub.

"Bagus ?" tanya ayah.

"Bagus, bagus banget!" balas keduanya.

"Biar burung-burung banyak yang datang, besok kita buatkan tempat untuk mandi di halaman. Mereka pasti suka," kata ayah lagi. Mata Ocha dan Pipin kian berseri-seri. Apalagi ayah juga punya rencana untuk memelihara kelinci, ayam, dan bebek. Wuih, tambah seru! Ayah memang hebat. Sejak hari pertama di rumah baru saja, sudah menyenangkan. Apalagi besok, lusa, seminggu, dan seterusnya. Selamat tinggal sepi, selamat tinggal bosan...!! (Penulis adalah anggota Persit KCK Cabang XLV Kodim 1201 KOORCAB REM 121 PD XII/TANJUNGPURA, Kalbar).

Oleh: Ny.Sri Nur Aeni Sugiyanto